SEPENGGAL KISAH
Malam semakin
sunyi dihiasi seru irama serangga malam yang saling bersahutan, hingga jam yang
berdetak pun terasa mengeluarkan suraa yang lebih menggema. Tidak ada lagi
kendaraan lalu lalang melewati jalan depan rumah yang jika subuh telah usai, berbagai
kendaraan mulai keluar melalui jalan tersebut. Jalannya memang tidak terlalu
lebar namun merupakan akses satu-satunya menuju kota, jadi wajar jika jalan
tersebut selalu ramai di jam-jam beraktivitas. Hal ini menjadi waktu favorit ku
untuk mempersiapkan bahan ajar serta instrumennya ataupun mengoreksi hasil
ulangan harian seperti yang telah saya lakukan ini.
Sedikit
mengulas, rumah ku berada tepat di pinggir jalan yang bersebelahan dengan rumah
yang lama kosong ditinggal pemiliknya. Sedangkan dihadapan rumahku terbentang
sungai yang mengalir dan menjadi batas pemisah antar desa. Sayangnya sungai
tersebut sudah tidak memperlihatkan kejernihan airnya, padahal di masa kecilku
dulu banyak sekali anak-anak yang berenang disepanjang bantaran sungai itu.
Kini yang terlihat hanya tumpukan sampah plastik ataupun bangkai hewan yang
mati dan sengaja dibuang ke sungai sehingga menimbulkan aroma nusuk. Bisa jadi
hal ini karena prilaku konsumtif masyarakat yang tinggi namun lupa diri yang
menyebabkan kepekaan terhadap lingkungan terus tergerus. Sampah kemasan plastik
yang menumpuk di rumahnya, tanpa beban mereka hanyutkan ke dalam aliran sungai
bersama limbah rumah tangga lainnya. Jika sudah terjadi musibah baik banjir
atau wabah penyakit, alih-alih intropeksi malah menjadikan pemerintah sebagai
kambing hitamnya.
Belum beranjak dari kursi, telepon genggam
yang berada di atas meja kerjaku berdering. Ku raih telepon genggam itu dan ku
lihat penelponnya namun tidak ku angkat karena nomor penelpon tersebut adalah
nomor baru yang tidak ku kenal. Aku pun masih harus merapikan kertas ulangan
yang telah ku koreksi untuk dibawa ke sekolah besok. Beberapa menit kemudian
nomor tersebut mengulangi panggilannya. Aku pun sedikit penasaran mengingat aku
merupakan sosok orang yang tidak terlalu banyak bergaul sehingga jarang sekali
mendapat panggilan telepon kecuali dari keluarga ataupun sekolah. Untuk
mengatasi rasa penasarannya, Aku menerima panggilan tersebut.
“Assalamu’alaikum,
maaf dengan siapa?”
“Wa’alaikum
salam, ini benar dengan Nasrullah?” tanya balik si penelpon dengan nada
penasaran beraksen sunda
“Iya benar
kang, ini siapa ya?”
“Astaghfirullah,
poho ka abi? (bahasa sunda yang artinya Astaghfirullah, lupa ke saya?). Abi
Abdurrahman rerencangan maneh baheula di pondok (Saya Abdurrahman teman
sepondokmu dulu)” dengan aksen khas Sukabumi
“Ya Allah,
Rahman.. kemana aja atuh bertahun-tahun baru ada kabar” jawabku kaget
“Hampura atuh
euy, ka..”
“Stop, English please..” memotong
pembicaraan rahman. “Sudah lama tidak menggunakan bahasa sunda, jadi lupa
sedikit hehehe..” sembari tertawa kecil
“Hehehe iya
tahu yang sekarang jadi guru bahasa Indonesia tentunya harus selalu menggunakan
bahasa yang baik dan benar ya kan?” dengan nada sedikit mengejek
“Hehehe..
gimana kabarnya sekarang?” tanyaku memulai pembicaraan yang lebih intim dan
panjang.
***
Malam ini
adalah malam pertama dimana kami bisa berkomunikasi kembali setelah terakhir
kalinya kami bersama di acara haflah dan prosesi wisuda santri akhir. Setelah
acara tersebut selesai kami akan dipulangkan ke rumah masing-masing, kecuali
mereka yang berkeinginan untuk mengabdikan diri ke pesantren. Kebetulan Aku dan
Rahman sama-sama tidak mengabdi ke pondok, bukan tidak mau namun kami memiliki
rencana lain untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Memang tidak
ada paksaan bagi santri yang baru lulus untuk mengabdikan dirinya ke pesantren.
Hal ini dimaksudkan agar eksistensi dari pengabdian tersebut benar terealisasi
dengan niat yang tulus tanpa paksaan dan peraturan.
Banyak yang
kami bahas dalam pembicaraan tadi, mulai dari kabar teman seangkatan saat di
pondok, ustaz dan ustazah, dan yang paling seru adalah ketika kami membahas
kehidupan di masa lalu khas santri. Kami banyak tertawa mengingat hal itu walau
saat kejadiannya malah bisa berupa momen mengharukan seperti kangen terhadap
orang tua yang kadang suka meneteskan air mata tanpa sadar di pojok ruangan
sambil termenung, ataupun momen menyenangkan ketika di sekolah guru berhalangan
hadir sehingga satu kelas mulai membuka lahan untuk bisa memejamkan mata. Ada
yang merapatkan kursi untuk dijadikan alas tidur dengan berbantal buku yang
ditumpuk, ada pula yang hanya menyandarkan kepala dengan silangan tangan di
meja hingga liur mengalir dengan derasnya.
Rahman memang
selalu berhasil membuat orang tertawa dengan guyonannya. Kepribadiannya yang
humoris dan supel membuat orang lain nyaman terhadap kehadirannya. Aku
mengenalnnya saat pertama kali berada di pondok yang akhirnya menjadi teman
sekamar. Di awal aku melihatnya, ia tidak seperti anak-anak lain yang terlihat
raut kesedihan dan ketakutan saat berada di pondok untuk pertama kalinya. Aku
baru mengetahui beberapa tahun kemudian bahwa ternyata rahman adalah anak yatim
piatu sejak masih bayi, jadi wajar saja jika ia terbiasa akan ketidakhadiran
orang tua di dalam kehidupannya. Walau demikian, ia tidak pernah menampakkan kesedihannya
kecuali saat pergi ke sekolah namun tidak sempat mandi karena saat mengantri
giliran untuk mandi ternyata air di bak penampungan habis lantaran listrik mati
sehingga mesin pemompa air tidak dapat beroprasi sebagaimana mestinya. Jika
sudah demikian, ia akan bergegas pergi ke sekolah dengan seragam lengkap namun
membawa sabun sebagai perlengkapan sekolah tambahan agar bisa mandi di toilet
sekolah.
Aku ingat
ketika pertama kalinya berada di pondok, begitu asing, begitu menyeramkan
terlebih saat melihat terdapat gerombolan anak dengan model rambut plontos berjalan
sambil bercerita ria yang aku yakini mereka adalah kakak kelasku.
“Mereka itu
adalah santri yang tidak taat terhadap peraturan sehingga sebagai hukumannya
mereka harus dibotak licin untuk santri putra dan mengenakan kerudung berwarna chartreuse (hijau kekuningan) untuk
santri putrinya” jelas rizki yang mengetahui kebingunganku saat melihat
gerombolan tadi. Rizki adalah sepupuku yang sudah 3 tahun lebih dahulu berada
di pondok yang sama. Ia banyak memberi gambaran mengenai setiap peraturan yang
harus ditaati oleh seluruh santri tanpa terkecuali. “Disini tidak diperkenankan
memakai pakaian berbahan jeans” tambahnya. “Handphone pun mau seperti apa
kondisinya, santri tetap tidak diperbolehkan membawanya ke pondok” sambil
menunjukkan hp ayahku yang ia pinjam
untuk menelpon kedua orang tuanya. “Jika sampai ketahuan” lanjutnya dengan nada
serius. “Berapapun harganya, pemilik hp harus menghancurkan dengan tangannya
sendiri mengguakan palu dan ditonton oleh semua santri” tukasnya sambil
memperagakan bagaimana cara memukulnya.
Saat itu aku
berpikir mengapa orang tuaku tega memisahkanku kepada kehidupan yang mestinya
penuh dengan kesenangan. Sedangkan jika aku berada di pondok, secara otomatis
harus siap segala hal yang dilakukan sendiri, baik mencuci maupun strika
pakaian. Tidak hanya itu, waktu bermain pun semakin berkurang. Bagaimana tidak,
tiap hari kami harus bangun setidaknya jam 4 subuh untuk melakukan solat dan
lanjut dengan kajian berbagai kitab sesuai jadwal yang telah ditentukan. Pagi
hingga sebelum ashar kami masih berada di sekolah melaksanakan pendidikan
formal. Sore harinya kami bebas melakukan apa yang menjadi hobi kami. Ada yang
bermain olahraga seperti sepak bola, voli, takraw, dan ada pula yang datang ke
ruang musik untuk mengasah kemampuan bermain alat musiknya. Jika cucian
menumpuk, sore hari pun menjadi waktu yang tepat untuk mencuci pakaian. Namun
ada pula yang sekadar melamun di sudut kamar dengan ratapan kesedihan dan
pikirannya melayang entah kemana. Biasanya mereka yang demikian cendrung belum
bisa menikmati keberadaannya di pondok dan sulit melepas kerajaannya di rumah.
Sebelum masuk
waktu magrib akan ada bel bersuara nyaring yang menandakan bahwa segala
aktivitas di luar persiapan untuk ke masjid sudah harus ditinggalkan. Jika
sudah demikian, kamar mandi tentu akan padat dengan antrian yang menunggu
giliran untuk mandi. Tentunya kami semua tidak ingin terlambat sampai ke masjid
karena jika itu sampai terjadi akan ada pengurus yang siap siaga berjaga dan
mendata siapa saja yang terlabat kemudian mengumpulkannya sebelum meninggalkan
masjid untuk makan malam. Akan ada hukuman bagi santri yang masuk dalam daftar
tersebut, hukuman teringannya adalah melakukan kebersihan yang dilakukan
berhari-hari sesuai ketentuan.
Disanalah
letak kesenangannya, kebersamaan yang tidak didapat oleh sekolah umum yang
bertemu saat berada di sekolah dan sesekali berjumpa jika ada kegiatan di luar.
Tidak seperti santri yang tidak hanya tidur, mandi pun dilakukan bersama. Jika
ia merupakan anak tunggal dalam keluarga, di pondok ia akan mendapat banyak
saudara baik kakak ataupun adik. Jika di rumah tidak pernah merasaan bagaimana
cara mencuci dan strika pakaian, di pondok hal itu akan selalu dilakukannya. Santri
juga harus selalu menjaga kebersihan dirinya jika tidak ingin terkena penyakit
kulit yang sangat rentan dihinggapi. Aku pun pernah mengalaminya karena kasur
yang biasa menjadi alas tidurku malas aku jemur sehingga budug (istilah orang sunda menyebut penyakit kulit) menghinggapi.
Jika tidak segera diobati, penyakit tersebut akan meluas yang nantinya akan
terasa gatal yang sangat mengganggu dan biasanya lokasi favorit ada di sela jari
dan selangkangan. Walau demikian ada saja yang menjadikan itu sebuah lelucon
dengan mengatakan bahwa belum lulus jadi santri jika belum merasakan bagaimana
rasanya budugan.
Aku
terperanjat dari kasur karena baru menyadari bahwa aku belum menunaikan solat
isya. “Astaghfirullah, belum solat isya” kataku berbicara sendiri sambil
menepuk dahi lalu bergegas mengambil air wudhu dan lanjut solat. Memang tidak
salah apa yang ustad katakan saat berpesan kepada santri akhir terhadap
kehidupan kami selanjutnya setelah keluar dari pondok.
“Akan banyak
cobaan yang sangat menggiurkan untuk merobohkan iman seseorang di luar sana”
tukas ustaz umay pendiri sekaligus pengajar di pesantren. “Jangan sia-siakan 6
tahun kalian di pondok jika nantinya kehidupanmu jauh dari keislaman. Orang tua
kalian mengarahkan kalian untuk masuk di pondok bukan karena tega memisahkan
kesenangan kalian namun itu adalah bentuk kecintaan mereka ke kalian.
Kesenangan duniawi itu bersifat semu, lebih baik menderita di dunia namun di
akhirat kelak kita mampu memetik hasilnya yang ditempatkan di surga bersama
baginda Rasulullah SAW” lanjutnya. “Ada 2 kategori santri menurut pengalaman
ustaz, yakni santri dipaksa dan santri terpaksa. Ada yang tahu artinya?” tanya
ustad. Ada yang menjawab tidak tahu, ada pula yang hanya menggelengkan kepala.
“Santri dipaksa adalah santri yang punya niat untuk berubah menjadi orang yang
lebih baik. Ia mencoba menikmati waktunya salama di pondok sebagai bekal di
kemudian hari. Tentu yang ia lakukan itu tidak ada paksaan dari luar namun
kemauan dari diri sendiri. Kategori santri ini akan terus istiqomah walau tidak
lagi berada di pondok” jelas ustaz dengan tenang. “Kategori kedua adalah santri
terpaksa. Jelas sesuai dengan namanya bahwa yang ia lakukan di pondok merupakan
bentuk paksaan agar terhindar dari segala hukuman. Ia melakukannya agar tunai
tanpa niat yang tulus. Walau keterpaksaan tersebut menjadi kebiasaan yang baik
namun tetap rentan terhadap godaan yang merubah haluan. Biasanya santri
tersebut akan mudah meninggalkan kewajiban solatnya. Jadi wajar jika dulu ia
merupakan santri, sekarang berubah menjadi banci.” Jelas ustad disambut gelak
tawa santri.
01:00 dini
hari namun mataku masih belum terpejam. Telepon dari Rahman tadi seketika
mengusir kantuk dan membangkitkan ingatan masa lalu tentang suka dukanya berada
di pondok, serta petuah dari ustaz mengenai hidup yang memang benar terjadi.
Jika tidak istiqomah mereka akan mudah meninggalkan segala apa yang telah
didapat selama di pondok, bahkan hal wajib pun seperti solat dan puasa di bulan
ramadan. Parahnya hingga terjerat berbagai kasus pidana yang mencoreng citra
santri. Na’udzubillahi min dzalik.
Bismika allahumma
ahya wa amuutu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar