Jumat, 08 Mei 2020

Cerpen "Sepenggal Kisah"

SEPENGGAL KISAH

Malam semakin sunyi dihiasi seru irama serangga malam yang saling bersahutan, hingga jam yang berdetak pun terasa mengeluarkan suraa yang lebih menggema. Tidak ada lagi kendaraan lalu lalang melewati jalan depan rumah yang jika subuh telah usai, berbagai kendaraan mulai keluar melalui jalan tersebut. Jalannya memang tidak terlalu lebar namun merupakan akses satu-satunya menuju kota, jadi wajar jika jalan tersebut selalu ramai di jam-jam beraktivitas. Hal ini menjadi waktu favorit ku untuk mempersiapkan bahan ajar serta instrumennya ataupun mengoreksi hasil ulangan harian seperti yang telah saya lakukan ini.
Sedikit mengulas, rumah ku berada tepat di pinggir jalan yang bersebelahan dengan rumah yang lama kosong ditinggal pemiliknya. Sedangkan dihadapan rumahku terbentang sungai yang mengalir dan menjadi batas pemisah antar desa. Sayangnya sungai tersebut sudah tidak memperlihatkan kejernihan airnya, padahal di masa kecilku dulu banyak sekali anak-anak yang berenang disepanjang bantaran sungai itu. Kini yang terlihat hanya tumpukan sampah plastik ataupun bangkai hewan yang mati dan sengaja dibuang ke sungai sehingga menimbulkan aroma nusuk. Bisa jadi hal ini karena prilaku konsumtif masyarakat yang tinggi namun lupa diri yang menyebabkan kepekaan terhadap lingkungan terus tergerus. Sampah kemasan plastik yang menumpuk di rumahnya, tanpa beban mereka hanyutkan ke dalam aliran sungai bersama limbah rumah tangga lainnya. Jika sudah terjadi musibah baik banjir atau wabah penyakit, alih-alih intropeksi malah menjadikan pemerintah sebagai kambing hitamnya.
 Belum beranjak dari kursi, telepon genggam yang berada di atas meja kerjaku berdering. Ku raih telepon genggam itu dan ku lihat penelponnya namun tidak ku angkat karena nomor penelpon tersebut adalah nomor baru yang tidak ku kenal. Aku pun masih harus merapikan kertas ulangan yang telah ku koreksi untuk dibawa ke sekolah besok. Beberapa menit kemudian nomor tersebut mengulangi panggilannya. Aku pun sedikit penasaran mengingat aku merupakan sosok orang yang tidak terlalu banyak bergaul sehingga jarang sekali mendapat panggilan telepon kecuali dari keluarga ataupun sekolah. Untuk mengatasi rasa penasarannya, Aku menerima panggilan tersebut.
“Assalamu’alaikum, maaf dengan siapa?”
“Wa’alaikum salam, ini benar dengan Nasrullah?” tanya balik si penelpon dengan nada penasaran beraksen sunda
“Iya benar kang, ini siapa ya?”
“Astaghfirullah, poho ka abi? (bahasa sunda yang artinya Astaghfirullah, lupa ke saya?). Abi Abdurrahman rerencangan maneh baheula di pondok (Saya Abdurrahman teman sepondokmu dulu)” dengan aksen khas Sukabumi
“Ya Allah, Rahman.. kemana aja atuh bertahun-tahun baru ada kabar” jawabku kaget
“Hampura atuh euy, ka..”
Stop, English please..” memotong pembicaraan rahman. “Sudah lama tidak menggunakan bahasa sunda, jadi lupa sedikit hehehe..” sembari tertawa kecil
“Hehehe iya tahu yang sekarang jadi guru bahasa Indonesia tentunya harus selalu menggunakan bahasa yang baik dan benar ya kan?” dengan nada sedikit mengejek
“Hehehe.. gimana kabarnya sekarang?” tanyaku memulai pembicaraan yang lebih intim dan panjang.
***
Malam ini adalah malam pertama dimana kami bisa berkomunikasi kembali setelah terakhir kalinya kami bersama di acara haflah dan prosesi wisuda santri akhir. Setelah acara tersebut selesai kami akan dipulangkan ke rumah masing-masing, kecuali mereka yang berkeinginan untuk mengabdikan diri ke pesantren. Kebetulan Aku dan Rahman sama-sama tidak mengabdi ke pondok, bukan tidak mau namun kami memiliki rencana lain untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Memang tidak ada paksaan bagi santri yang baru lulus untuk mengabdikan dirinya ke pesantren. Hal ini dimaksudkan agar eksistensi dari pengabdian tersebut benar terealisasi dengan niat yang tulus tanpa paksaan dan peraturan.
Banyak yang kami bahas dalam pembicaraan tadi, mulai dari kabar teman seangkatan saat di pondok, ustaz dan ustazah, dan yang paling seru adalah ketika kami membahas kehidupan di masa lalu khas santri. Kami banyak tertawa mengingat hal itu walau saat kejadiannya malah bisa berupa momen mengharukan seperti kangen terhadap orang tua yang kadang suka meneteskan air mata tanpa sadar di pojok ruangan sambil termenung, ataupun momen menyenangkan ketika di sekolah guru berhalangan hadir sehingga satu kelas mulai membuka lahan untuk bisa memejamkan mata. Ada yang merapatkan kursi untuk dijadikan alas tidur dengan berbantal buku yang ditumpuk, ada pula yang hanya menyandarkan kepala dengan silangan tangan di meja hingga liur mengalir dengan derasnya.
Rahman memang selalu berhasil membuat orang tertawa dengan guyonannya. Kepribadiannya yang humoris dan supel membuat orang lain nyaman terhadap kehadirannya. Aku mengenalnnya saat pertama kali berada di pondok yang akhirnya menjadi teman sekamar. Di awal aku melihatnya, ia tidak seperti anak-anak lain yang terlihat raut kesedihan dan ketakutan saat berada di pondok untuk pertama kalinya. Aku baru mengetahui beberapa tahun kemudian bahwa ternyata rahman adalah anak yatim piatu sejak masih bayi, jadi wajar saja jika ia terbiasa akan ketidakhadiran orang tua di dalam kehidupannya. Walau demikian, ia tidak pernah menampakkan kesedihannya kecuali saat pergi ke sekolah namun tidak sempat mandi karena saat mengantri giliran untuk mandi ternyata air di bak penampungan habis lantaran listrik mati sehingga mesin pemompa air tidak dapat beroprasi sebagaimana mestinya. Jika sudah demikian, ia akan bergegas pergi ke sekolah dengan seragam lengkap namun membawa sabun sebagai perlengkapan sekolah tambahan agar bisa mandi di toilet sekolah.
Aku ingat ketika pertama kalinya berada di pondok, begitu asing, begitu menyeramkan terlebih saat melihat terdapat gerombolan anak dengan model rambut plontos berjalan sambil bercerita ria yang aku yakini mereka adalah kakak kelasku.
“Mereka itu adalah santri yang tidak taat terhadap peraturan sehingga sebagai hukumannya mereka harus dibotak licin untuk santri putra dan mengenakan kerudung berwarna chartreuse (hijau kekuningan) untuk santri putrinya” jelas rizki yang mengetahui kebingunganku saat melihat gerombolan tadi. Rizki adalah sepupuku yang sudah 3 tahun lebih dahulu berada di pondok yang sama. Ia banyak memberi gambaran mengenai setiap peraturan yang harus ditaati oleh seluruh santri tanpa terkecuali. “Disini tidak diperkenankan memakai pakaian berbahan jeans” tambahnya. “Handphone pun mau seperti apa kondisinya, santri tetap tidak diperbolehkan membawanya ke pondok” sambil menunjukkan hp ayahku  yang ia pinjam untuk menelpon kedua orang tuanya. “Jika sampai ketahuan” lanjutnya dengan nada serius. “Berapapun harganya, pemilik hp harus menghancurkan dengan tangannya sendiri mengguakan palu dan ditonton oleh semua santri” tukasnya sambil memperagakan bagaimana cara memukulnya.
Saat itu aku berpikir mengapa orang tuaku tega memisahkanku kepada kehidupan yang mestinya penuh dengan kesenangan. Sedangkan jika aku berada di pondok, secara otomatis harus siap segala hal yang dilakukan sendiri, baik mencuci maupun strika pakaian. Tidak hanya itu, waktu bermain pun semakin berkurang. Bagaimana tidak, tiap hari kami harus bangun setidaknya jam 4 subuh untuk melakukan solat dan lanjut dengan kajian berbagai kitab sesuai jadwal yang telah ditentukan. Pagi hingga sebelum ashar kami masih berada di sekolah melaksanakan pendidikan formal. Sore harinya kami bebas melakukan apa yang menjadi hobi kami. Ada yang bermain olahraga seperti sepak bola, voli, takraw, dan ada pula yang datang ke ruang musik untuk mengasah kemampuan bermain alat musiknya. Jika cucian menumpuk, sore hari pun menjadi waktu yang tepat untuk mencuci pakaian. Namun ada pula yang sekadar melamun di sudut kamar dengan ratapan kesedihan dan pikirannya melayang entah kemana. Biasanya mereka yang demikian cendrung belum bisa menikmati keberadaannya di pondok dan sulit melepas kerajaannya di rumah.
Sebelum masuk waktu magrib akan ada bel bersuara nyaring yang menandakan bahwa segala aktivitas di luar persiapan untuk ke masjid sudah harus ditinggalkan. Jika sudah demikian, kamar mandi tentu akan padat dengan antrian yang menunggu giliran untuk mandi. Tentunya kami semua tidak ingin terlambat sampai ke masjid karena jika itu sampai terjadi akan ada pengurus yang siap siaga berjaga dan mendata siapa saja yang terlabat kemudian mengumpulkannya sebelum meninggalkan masjid untuk makan malam. Akan ada hukuman bagi santri yang masuk dalam daftar tersebut, hukuman teringannya adalah melakukan kebersihan yang dilakukan berhari-hari sesuai ketentuan.
Disanalah letak kesenangannya, kebersamaan yang tidak didapat oleh sekolah umum yang bertemu saat berada di sekolah dan sesekali berjumpa jika ada kegiatan di luar. Tidak seperti santri yang tidak hanya tidur, mandi pun dilakukan bersama. Jika ia merupakan anak tunggal dalam keluarga, di pondok ia akan mendapat banyak saudara baik kakak ataupun adik. Jika di rumah tidak pernah merasaan bagaimana cara mencuci dan strika pakaian, di pondok hal itu akan selalu dilakukannya. Santri juga harus selalu menjaga kebersihan dirinya jika tidak ingin terkena penyakit kulit yang sangat rentan dihinggapi. Aku pun pernah mengalaminya karena kasur yang biasa menjadi alas tidurku malas aku jemur sehingga budug (istilah orang sunda menyebut penyakit kulit) menghinggapi. Jika tidak segera diobati, penyakit tersebut akan meluas yang nantinya akan terasa gatal yang sangat mengganggu dan biasanya lokasi favorit ada di sela jari dan selangkangan. Walau demikian ada saja yang menjadikan itu sebuah lelucon dengan mengatakan bahwa belum lulus jadi santri jika belum merasakan bagaimana rasanya budugan.
Aku terperanjat dari kasur karena baru menyadari bahwa aku belum menunaikan solat isya. “Astaghfirullah, belum solat isya” kataku berbicara sendiri sambil menepuk dahi lalu bergegas mengambil air wudhu dan lanjut solat. Memang tidak salah apa yang ustad katakan saat berpesan kepada santri akhir terhadap kehidupan kami selanjutnya setelah keluar dari pondok.
“Akan banyak cobaan yang sangat menggiurkan untuk merobohkan iman seseorang di luar sana” tukas ustaz umay pendiri sekaligus pengajar di pesantren. “Jangan sia-siakan 6 tahun kalian di pondok jika nantinya kehidupanmu jauh dari keislaman. Orang tua kalian mengarahkan kalian untuk masuk di pondok bukan karena tega memisahkan kesenangan kalian namun itu adalah bentuk kecintaan mereka ke kalian. Kesenangan duniawi itu bersifat semu, lebih baik menderita di dunia namun di akhirat kelak kita mampu memetik hasilnya yang ditempatkan di surga bersama baginda Rasulullah SAW” lanjutnya. “Ada 2 kategori santri menurut pengalaman ustaz, yakni santri dipaksa dan santri terpaksa. Ada yang tahu artinya?” tanya ustad. Ada yang menjawab tidak tahu, ada pula yang hanya menggelengkan kepala. “Santri dipaksa adalah santri yang punya niat untuk berubah menjadi orang yang lebih baik. Ia mencoba menikmati waktunya salama di pondok sebagai bekal di kemudian hari. Tentu yang ia lakukan itu tidak ada paksaan dari luar namun kemauan dari diri sendiri. Kategori santri ini akan terus istiqomah walau tidak lagi berada di pondok” jelas ustaz dengan tenang. “Kategori kedua adalah santri terpaksa. Jelas sesuai dengan namanya bahwa yang ia lakukan di pondok merupakan bentuk paksaan agar terhindar dari segala hukuman. Ia melakukannya agar tunai tanpa niat yang tulus. Walau keterpaksaan tersebut menjadi kebiasaan yang baik namun tetap rentan terhadap godaan yang merubah haluan. Biasanya santri tersebut akan mudah meninggalkan kewajiban solatnya. Jadi wajar jika dulu ia merupakan santri, sekarang berubah menjadi banci.” Jelas ustad disambut gelak tawa santri.
01:00 dini hari namun mataku masih belum terpejam. Telepon dari Rahman tadi seketika mengusir kantuk dan membangkitkan ingatan masa lalu tentang suka dukanya berada di pondok, serta petuah dari ustaz mengenai hidup yang memang benar terjadi. Jika tidak istiqomah mereka akan mudah meninggalkan segala apa yang telah didapat selama di pondok, bahkan hal wajib pun seperti solat dan puasa di bulan ramadan. Parahnya hingga terjerat berbagai kasus pidana yang mencoreng citra santri. Na’udzubillahi min dzalik.

Bismika allahumma ahya wa amuutu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar