"KOTAK"
“Saya pun tidak
ingin kembali lagi ke rumah ini.”
Kalimat tersebut
masih kuat diingatan meski dua setengah tahun telah berselang. Seperti bangkai
yang diterpa angin, terhirup lalu hilang – angin datang, terhirup lalu
menyesakkan dada. Berusaha menutup hidungpun sia-sia dan tinggallah air mata.
Semoga bapak mendapat syafaatNya disana.
Dulu aku selalu
memikirkan isi dalam kotak besar yang selalu bapakku simpan. Aku ingin sekali
bertanya, “Bapak, apakah isi kotak yang engkau simpan itu?” Namun hingga
ajalnya, pertanyaan itu masih terganjal di balik lidah. Aku berpikir mungkin
aku akan tahu setelah aku menikah dan dikaruniai anak.
Berbekal ijazah
D3, aku berangkat dari Jepara kampung halamanku menuju ke Jakarta. Tidak ada kerabat, tidak
ada saudara, aku berubah menjadi satria map cokelat. Titip disana, panggilan
disini, penolakan disana, masukkan lamaran lagi. Begitulah siklus kehidupanku
setelah memberanikan diri hengkang dari rumah. Ibarat memancing, pasang umpan
lalu tunggu hingga ada yang tertarik di mata kail. Beberapa kali umpan dimakan, beberapa kali itu pula umpan terlepas.
***
Suhu Jakarta saat
itu hampir mendekati 450 C. Kamar 2,5x3 berubah menjadi sauna
sehingga keringat mengalir dengan deras. Tidak ada kipas apalagi pendingin ruangan,
maklum saja karena masih dalam masa orientasi menjadi satria. Kring... kring... (telepon genggam
berdering) Aku segera mengangkat telepon.
“Selamat siang,
perkenalkan saya Mutia HRD PT. Keluarga Sejahtera. Benar ini dengan bapak
Munar?”
“Iya benar bu.”
Jawabku agak sedikit gugup.
“Baik pak,
sebelumnya saya mau tanya, apakah bapak masih berminat bekerja diperusahaan
kami dengan posisi sebagai teknisi?”
“Iya bu, saya
berminat.” Jawabku dengan suara lantang dan bersemangat.
“Baik pak,
silahkan datang ke kantor hari senin tanggal 26 Juni jam 09.00 pagi, berpakaian
hitam putih karena akan ada sesi foto untuk pembuatan id card dan dilanjut dengan penandatanganan kontrak kerja.
Kira-kira pak munar bersedia hadir?”
“Baik bu, saya
bersedia hadir.” Sambil setengah berjingkrak.
“Oke pak munar,
apakah ada pertanyaan? Jika tidak ada saya akhiri.”
“Sudah jelas
bu, terimakasih banyak.”
“Baik pak munar
selamat bergabung dan selamat siang.”
“Terimakasih
bu, selamat siang.” Jawabku mengakhir panggilan telepon.
Satu tahun berselang,
statusku berubah menjadi karyawan tetap setelah dinyatakan lulus masa
percobaan. Tidak hanya itu, selama satu tahun pula aku mengenal seorang wanita
yang perangainya selalu membuat cerah dunia. Parasnya memperlihatkan pribadi
yang murah senyum dan lembut, bertolak belakang dengan profesinya yang sama
denganku, yakni sebagai teknisi. Ia sangat luar biasa bagiku karena kelebihan fisiknya
tidak membuat ia terlihat seperti cewek sosialita yang menang gaya. Hebatnya
lagi, ia menolak untuk aku ajak berpacaran. Karena baginya, pacaran adalah
pintu masuk setan untuk menggoda keimanan insan.
“Jika serius,
ajak ke pelaminan aja kak!” ucapnya dengan melempar senyum pipit.
Kalimat
sederhana, namun sontak membuat membuat mataku terbelalak. Tak kusangka ia menjawab
dengan kalimat yang sangat menyegarkan. Airin – itulah namanya – memang selalu berhasil
membuatku terus berwarna. Jika sudah demikian, menabung adalah rencana awal
agar bisa aku gunakan untuk meminangnya.
Bagaimana kabar bapak disana ya? Ingin sekali
kebahagiaan ini aku sampaikan ke bapak. Barang tentu ibu juga bahagia di alam
sana.
Selama 15 bulan
terakhir aku dan airin sudah mengurangi kegiatan hangout dengan teman-teman. Aku mengurangi waktu untuk sekadar
bermain futsal. Airin pun demikian, mengurangi waktunya berbelanja dan menonton
dengan teman kuliahnya dulu. Namun kami tetap menikmatinya tanpa ada perasaan
tersiksa, karena satu-satunya perasaan yang menyiksa adalah hubungan tanpa ada
ikatan yang sah secara agama dan negara.
“Bulan depan
ikut aku ke jepara yuk.” Ajakku ke airin sambil menganggukkan kepala.
“Boleh,
sekalian ziarah ke makam ibu ya kak.” Jawab airin singkat.
“Okey bos,
nanti aku cari tanggal yang pas ya.” Jawabku.
Sebenarnya ada
kecemasan dalam batinku untuk mengajak airin menemui bapak. Bukan apa-apa, aku
takut jika tujuan utamanya tidak tersampaikan malah terjadi perang dingin yang
akhirnya disuguhkan ke airin. Kotak itu... akh, sampai kini aku masih bingung
terhadap kotak besar itu.
Setelah
mengatur semua, termasuk pengajuan perubahan jadwal off airin dan aku di acc,
kami berangkat dari gambir menuju stasiun tawang semarang. Tiba pukul 06.00
pagi membuat demonstrasi besar-besaran berindikasi perbuatan anarkis yang
dilakukan oleh cairan asam yang ada di lambung. Bergegaslah kami mencari tempat
makan. Tidak ada ketentuan khusus tempat makan mana yang mesti dikunjungi,
selain menu-menu makanan yang ditampilkan yang berhasil membuat demonstran
tidak dapat dikendalikan lagi.
“Kita makan
disana aja yuk mas.” Ajak airin memelas, mungkin karena sudah terlalu lapar.
“Mas ikut yang
tuan putri inginkan.” Jawabku sedikit menggoda.
Perjalanan kami
masih kurang lebih dua jam untuk sampai ke jepara. Kami naik taksi menuju
terminal terboyo dan disana kami melanjutkan perjalanan dengan menumpangi bus.
Bersyukur aku menemukan airin yang tidak pernah menunjukkan raut yang membuat
tidak nyaman bagi orang yang melihatnya. Aku yakin pasti ia lelah, namun
wajahnya sama sekali tidak menampakkan hal itu. Bahkan ia tidak menolak ataupun
memberi syarat-syarat khusus yang biasa dilakukan cewek jika ia tahu akan
kesusahan di jalan.
“Kok sepi mas?”
Tanya airin bingung.
“Entahlah, mas
juga sudah lama tidak mengunjungi bapak.” Jawabku sedikit lirih.
“Assalamualaikum pak, bapak...” Teriakku sambil mengintip dari jendela.
Semua terlihat
sama seperti terakhir aku meninggalkan rumah. Hanya terlihat lebih tua dan
usang tidak berpenghuni. Tanaman hias yang dulunya subur dan mengeluarkan aroma
khas, kini hanya tercium kekhawatiran. Apa yang terjadi selama ini???
Aku coba bertanya
ke bude sekar – tetangga terdekat sekaligus kakak dari bapakku.
“Assalamualaikum
bude.”
“Walaikum
salam.” Sahutnya dari dalam rumah. “Ya Allah munar, kemana saja kamu. Kok tidak
pernah kasih kabar bapakmu sih nak.” Lanjutnya sambil berjalan dan membuka
pagar dengan sedikit duka di wajahnya.
“Iya maaf bude,
bapak ada dimana ya? Kok rumah terlihat sepi.” Tanyaku cemas.
“Bude tidak
tahu harus ngomong apa, warga dan saudara-saudaramu sudah mencoba mencarimu
tetapi sia-sia.” Jawabnya dengan lirih.
“Bapak mana
bude.” Tanyaku lugas dengan pikiran yang semakin kacau.
“Setelah kamu
putuskan untuk meninggalkan rumah, bapakmu mulai sedikit berubah.” Ucap bude
lirih sembari mencengkram pundakku. “Ia semakin sering di rumah dan hanya
duduk-duduk di teras memandang pagar dengan tatapan kosong. Sesekali bude ke
rumah membawa kue untuk dimakan sambil minum teh, namun bapakmu lebih banyak
diam.
“Setelah kamu meninggalkan
rumah, bapakmu selalu memikirkanmu hingga menjadi stroke.” Jawab budeku yang
mulai berkaca-kaca. “Bude mencoba menghubungimu melalui beberapa kerabat namun
tetap tidak ada yang mengetahui.” Raut wajah bude berubah kecewa. “Bapakmu
mulai kehilangan semangatnya untuk hidup. Selalu saja memohon untuk
sampaikan maaf padamu nak.” Lanjut bude
sembari menempelkan tangan kanannya ke dada.
Bude tidak
melanjutkan pembicaraannya, akupun tidak ingin mendengar lebih lanjut. Bukan
tidak peduli, namun aku tidak sanggup mengetahui kebenaran yang terjadi hingga
membayangkan perasaan bapakku saat itu.
Pagi yang cerah
itu berubah mendung disertai petir yang menggelegar menghujam bumi. Mulutku kelu,
tubuhku lemas tak bertulang, pagi yang cerah itupun akhirnya turun hujan. Airin
terus menenangkan, walau ku tahu dia pun turut mengeluarkan linangan mata. Ia
hanya tidak ingin memperparah keadaan dengan adanya duet tangis.
“Yang tabah ya
mas” ucap airin sembari mengelus punggungku.
Aku
tidak sepenuhnya mendengar perkataan yang airin ucap. Pikiranku tertuju kembali
pada kotak yang selama ini membuat aku penasaran. “Dimana kotak besar itu
berada” tanyaku dalam hati.
Bude
membukakan pintu. Terdengar deritan hebat pintu besi keropos termakan usia,
bertanda sudah lamanya tidak adanya aktivitas keluar masuk rumah. Dalam tujuh
langkah, aku sudah berada di depan pintu. Bude mempersilakan aku untuk membuka
pintu. Setelah gagang pintu diturunkan, udara masa lalu terbuka. Mengingatkanku
pada kenangan pada tiap detail ruangannya. Seperti ramainya dapur saat ibu
membuat gorengan yang akan dijual di kantin sekolah SD dekat rumah sebelum
akhir hayatnya ditabrak pengemudi motor yang ugal-ugalan. Ruang tengah yang
menggema suara tawa saat aku, bapak, dan ibu menonton serial komedi di
televisi.
“Bapakmu
sebenarnya sangat sayang padamu nang” tukas bude meredam emosi yang semakin
membanjiri mata. “Bapakmu hanya bingung setelah sepeninggalan ibumu” lanjutnya.
“Tapi
mengapa aku tidak pernah merasakannya deh” setengah terisak. “Aku merasa bapak
tidak peduli kepadaku sama seperti Allah yang tidak peduli kepada perasaanku
ditinggal ibu” tangisku menjadi.
“Ya
Allah mas, istigfar” seru airin. “Mas yang aku kenal bukan seperti ini, Allah
menyimpan hikmah dibalik semua ini” dengan nada yang sedikit meninggi.
“Jika
bapakmu tidak peduli kepadamu nang, pasti bapakmu akan tetap hidup walau kamu
tinggalkan bertahun-tahun tanpa kabar” bude meradang. “Bude tidak menyalahkanmu
atas kematian bapakmu, namun kamu harus tahu bahwa ayahmu semakin menderita
atas kepergianmu dari rumah. Menjelang ajalnya saja bapakmu masih terus
menanyakan keberadaan dirimu.”
Aku
merebahkan diri di sofa yang sudah diselimuti debu dengan telapak tangan
menutupi wajah. Membiarkan emosi menjadi lunak dan mengeringkan air mata yang
masih tersisa di pipi. Kotak besar yang selama ini kucari ternyata ada
dipikiranku. Kotak yang berisi jarak sehingga ia membatasi hubunganku dengan
bapak, terlebih kepada pemilik skenario terhebat – Allah. “Terimakasih ya Allah
telah membukakan kotak yang selama ini mengganjal di hati hamba. Terimakasih juga
untuk pemberiannya wanita istimewa” doaku dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar