Jumat, 08 Mei 2020

Cerpen "Kotak"


"KOTAK"

“Saya pun tidak ingin kembali lagi ke rumah ini.”
Kalimat tersebut masih kuat diingatan meski dua setengah tahun telah berselang. Seperti bangkai yang diterpa angin, terhirup lalu hilang – angin datang, terhirup lalu menyesakkan dada. Berusaha menutup hidungpun sia-sia dan tinggallah air mata. Semoga bapak mendapat syafaatNya disana.

Dulu aku selalu memikirkan isi dalam kotak besar yang selalu bapakku simpan. Aku ingin sekali bertanya, “Bapak, apakah isi kotak yang engkau simpan itu?” Namun hingga ajalnya, pertanyaan itu masih terganjal di balik lidah. Aku berpikir mungkin aku akan tahu setelah aku menikah dan dikaruniai anak.
Berbekal ijazah D3, aku berangkat dari Jepara kampung halamanku menuju ke Jakarta. Tidak ada kerabat, tidak ada saudara, aku berubah menjadi satria map cokelat. Titip disana, panggilan disini, penolakan disana, masukkan lamaran lagi. Begitulah siklus kehidupanku setelah memberanikan diri hengkang dari rumah. Ibarat memancing, pasang umpan lalu tunggu hingga ada yang tertarik di mata kail. Beberapa kali umpan dimakan, beberapa kali itu pula umpan terlepas.
***
Suhu Jakarta saat itu hampir mendekati 450 C. Kamar 2,5x3 berubah menjadi sauna sehingga keringat mengalir dengan deras. Tidak ada kipas apalagi pendingin ruangan, maklum saja karena masih dalam masa orientasi menjadi satria. Kring... kring... (telepon genggam berdering) Aku segera mengangkat telepon.
“Selamat siang, perkenalkan saya Mutia HRD PT. Keluarga Sejahtera. Benar ini dengan bapak Munar?”
“Iya benar bu.” Jawabku agak sedikit gugup.
“Baik pak, sebelumnya saya mau tanya, apakah bapak masih berminat bekerja diperusahaan kami dengan posisi sebagai teknisi?”
“Iya bu, saya berminat.” Jawabku dengan suara lantang dan bersemangat.
“Baik pak, silahkan datang ke kantor hari senin tanggal 26 Juni jam 09.00 pagi, berpakaian hitam putih karena akan ada sesi foto untuk pembuatan id card dan dilanjut dengan penandatanganan kontrak kerja. Kira-kira pak munar bersedia hadir?”
“Baik bu, saya bersedia hadir.” Sambil setengah berjingkrak.
“Oke pak munar, apakah ada pertanyaan? Jika tidak ada saya akhiri.”
“Sudah jelas bu, terimakasih banyak.”
“Baik pak munar selamat bergabung dan selamat siang.”
“Terimakasih bu, selamat siang.” Jawabku mengakhir panggilan telepon.
Satu tahun berselang, statusku berubah menjadi karyawan tetap setelah dinyatakan lulus masa percobaan. Tidak hanya itu, selama satu tahun pula aku mengenal seorang wanita yang perangainya selalu membuat cerah dunia. Parasnya memperlihatkan pribadi yang murah senyum dan lembut, bertolak belakang dengan profesinya yang sama denganku, yakni sebagai teknisi. Ia sangat luar biasa bagiku karena kelebihan fisiknya tidak membuat ia terlihat seperti cewek sosialita yang menang gaya. Hebatnya lagi, ia menolak untuk aku ajak berpacaran. Karena baginya, pacaran adalah pintu masuk setan untuk menggoda keimanan insan.
“Jika serius, ajak ke pelaminan aja kak!” ucapnya dengan melempar senyum pipit.
Kalimat sederhana, namun sontak membuat membuat mataku terbelalak. Tak kusangka ia menjawab dengan kalimat yang sangat menyegarkan. Airin – itulah namanya – memang selalu berhasil membuatku terus berwarna. Jika sudah demikian, menabung adalah rencana awal agar bisa aku gunakan untuk meminangnya.
Bagaimana kabar bapak disana ya? Ingin sekali kebahagiaan ini aku sampaikan ke bapak. Barang tentu ibu juga bahagia di alam sana.
Selama 15 bulan terakhir aku dan airin sudah mengurangi kegiatan hangout dengan teman-teman. Aku mengurangi waktu untuk sekadar bermain futsal. Airin pun demikian, mengurangi waktunya berbelanja dan menonton dengan teman kuliahnya dulu. Namun kami tetap menikmatinya tanpa ada perasaan tersiksa, karena satu-satunya perasaan yang menyiksa adalah hubungan tanpa ada ikatan yang sah secara agama dan negara.
“Bulan depan ikut aku ke jepara yuk.” Ajakku ke airin sambil menganggukkan kepala.
“Boleh, sekalian ziarah ke makam ibu ya kak.” Jawab airin singkat.
“Okey bos, nanti aku cari tanggal yang pas ya.” Jawabku.
Sebenarnya ada kecemasan dalam batinku untuk mengajak airin menemui bapak. Bukan apa-apa, aku takut jika tujuan utamanya tidak tersampaikan malah terjadi perang dingin yang akhirnya disuguhkan ke airin. Kotak itu... akh, sampai kini aku masih bingung terhadap kotak besar itu.
Setelah mengatur semua, termasuk pengajuan perubahan jadwal off airin dan aku di acc, kami berangkat dari gambir menuju stasiun tawang semarang. Tiba pukul 06.00 pagi membuat demonstrasi besar-besaran berindikasi perbuatan anarkis yang dilakukan oleh cairan asam yang ada di lambung. Bergegaslah kami mencari tempat makan. Tidak ada ketentuan khusus tempat makan mana yang mesti dikunjungi, selain menu-menu makanan yang ditampilkan yang berhasil membuat demonstran tidak dapat dikendalikan lagi.
“Kita makan disana aja yuk mas.” Ajak airin memelas, mungkin karena sudah terlalu lapar.
“Mas ikut yang tuan putri inginkan.” Jawabku sedikit menggoda.
Perjalanan kami masih kurang lebih dua jam untuk sampai ke jepara. Kami naik taksi menuju terminal terboyo dan disana kami melanjutkan perjalanan dengan menumpangi bus. Bersyukur aku menemukan airin yang tidak pernah menunjukkan raut yang membuat tidak nyaman bagi orang yang melihatnya. Aku yakin pasti ia lelah, namun wajahnya sama sekali tidak menampakkan hal itu. Bahkan ia tidak menolak ataupun memberi syarat-syarat khusus yang biasa dilakukan cewek jika ia tahu akan kesusahan di jalan.
“Kok sepi mas?” Tanya airin bingung.
“Entahlah, mas juga sudah lama tidak mengunjungi bapak.” Jawabku sedikit lirih. “Assalamualaikum pak, bapak...” Teriakku sambil mengintip dari jendela.
Semua terlihat sama seperti terakhir aku meninggalkan rumah. Hanya terlihat lebih tua dan usang tidak berpenghuni. Tanaman hias yang dulunya subur dan mengeluarkan aroma khas, kini hanya tercium kekhawatiran. Apa yang terjadi selama ini???
Aku coba bertanya ke bude sekar – tetangga terdekat sekaligus kakak dari bapakku.
“Assalamualaikum bude.”
“Walaikum salam.” Sahutnya dari dalam rumah. “Ya Allah munar, kemana saja kamu. Kok tidak pernah kasih kabar bapakmu sih nak.” Lanjutnya sambil berjalan dan membuka pagar dengan sedikit duka di wajahnya.
“Iya maaf bude, bapak ada dimana ya? Kok rumah terlihat sepi.” Tanyaku cemas.
“Bude tidak tahu harus ngomong apa, warga dan saudara-saudaramu sudah mencoba mencarimu tetapi sia-sia.” Jawabnya dengan lirih.
“Bapak mana bude.” Tanyaku lugas dengan pikiran yang semakin kacau.
“Setelah kamu putuskan untuk meninggalkan rumah, bapakmu mulai sedikit berubah.” Ucap bude lirih sembari mencengkram pundakku. “Ia semakin sering di rumah dan hanya duduk-duduk di teras memandang pagar dengan tatapan kosong. Sesekali bude ke rumah membawa kue untuk dimakan sambil minum teh, namun bapakmu lebih banyak diam.
“Setelah kamu meninggalkan rumah, bapakmu selalu memikirkanmu hingga menjadi stroke.” Jawab budeku yang mulai berkaca-kaca. “Bude mencoba menghubungimu melalui beberapa kerabat namun tetap tidak ada yang mengetahui.” Raut wajah bude berubah kecewa. “Bapakmu mulai kehilangan semangatnya untuk hidup. Selalu saja memohon untuk sampaikan  maaf padamu nak.” Lanjut bude sembari menempelkan tangan kanannya ke dada.
Bude tidak melanjutkan pembicaraannya, akupun tidak ingin mendengar lebih lanjut. Bukan tidak peduli, namun aku tidak sanggup mengetahui kebenaran yang terjadi hingga membayangkan perasaan bapakku saat itu.
Pagi yang cerah itu berubah mendung disertai petir yang menggelegar menghujam bumi. Mulutku kelu, tubuhku lemas tak bertulang, pagi yang cerah itupun akhirnya turun hujan. Airin terus menenangkan, walau ku tahu dia pun turut mengeluarkan linangan mata. Ia hanya tidak ingin memperparah keadaan dengan adanya duet tangis.
“Yang tabah ya mas” ucap airin sembari mengelus punggungku.
Aku tidak sepenuhnya mendengar perkataan yang airin ucap. Pikiranku tertuju kembali pada kotak yang selama ini membuat aku penasaran. “Dimana kotak besar itu berada” tanyaku dalam hati.
Bude membukakan pintu. Terdengar deritan hebat pintu besi keropos termakan usia, bertanda sudah lamanya tidak adanya aktivitas keluar masuk rumah. Dalam tujuh langkah, aku sudah berada di depan pintu. Bude mempersilakan aku untuk membuka pintu. Setelah gagang pintu diturunkan, udara masa lalu terbuka. Mengingatkanku pada kenangan pada tiap detail ruangannya. Seperti ramainya dapur saat ibu membuat gorengan yang akan dijual di kantin sekolah SD dekat rumah sebelum akhir hayatnya ditabrak pengemudi motor yang ugal-ugalan. Ruang tengah yang menggema suara tawa saat aku, bapak, dan ibu menonton serial komedi di televisi.
“Bapakmu sebenarnya sangat sayang padamu nang” tukas bude meredam emosi yang semakin membanjiri mata. “Bapakmu hanya bingung setelah sepeninggalan ibumu” lanjutnya.
“Tapi mengapa aku tidak pernah merasakannya deh” setengah terisak. “Aku merasa bapak tidak peduli kepadaku sama seperti Allah yang tidak peduli kepada perasaanku ditinggal ibu” tangisku menjadi.
“Ya Allah mas, istigfar” seru airin. “Mas yang aku kenal bukan seperti ini, Allah menyimpan hikmah dibalik semua ini” dengan nada yang sedikit meninggi.
“Jika bapakmu tidak peduli kepadamu nang, pasti bapakmu akan tetap hidup walau kamu tinggalkan bertahun-tahun tanpa kabar” bude meradang. “Bude tidak menyalahkanmu atas kematian bapakmu, namun kamu harus tahu bahwa ayahmu semakin menderita atas kepergianmu dari rumah. Menjelang ajalnya saja bapakmu masih terus menanyakan keberadaan dirimu.”
Aku merebahkan diri di sofa yang sudah diselimuti debu dengan telapak tangan menutupi wajah. Membiarkan emosi menjadi lunak dan mengeringkan air mata yang masih tersisa di pipi. Kotak besar yang selama ini kucari ternyata ada dipikiranku. Kotak yang berisi jarak sehingga ia membatasi hubunganku dengan bapak, terlebih kepada pemilik skenario terhebat – Allah. “Terimakasih ya Allah telah membukakan kotak yang selama ini mengganjal di hati hamba. Terimakasih juga untuk pemberiannya wanita istimewa” doaku dalam hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar